Proyek reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta itu merupakan
bagian dari mega proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (National
Capital Integrated Coastal Development/NCICD) yang merupakan proyek
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Pada saat peluncuran mega
proyek ini pada 2014 lalu dikatakan, pembangunan NCICD dimulai tahun depan
(yakni tahun 2015) terdiri atas reklamasi pantai utara Jakarta (tahap I), konstruksi
tanggul terluar (tahap II), dan tembok laut raksasa atau giant sea wall
(tahap III).
NCICD adalah penamaan terakhir untuk proyek reklamasi Pantai
Utara Jakarta setelah sebelumnya bernama Giant Sea Wall dari
yang sebelumnya Jakarta Coastal Development Strategies (JCDS)
dan sebelumnya lagi dikenal sebagai Jakarta Coastal Defence Strategies (JCDS).
Dalam penjelasan mega proyek NCICD dikatakan bahwa salah
satu tantangan terbesar untuk masa depan dari Ibukota Negara Indonesia adalah
untuk melindungi 10 Juta penduduknya dan pesatnya pertumbuhan ekonomi terhadap
tingginya risiko banjir karena begitu cepatnya penurunan muka tanah yang
terjadi. Bagian paling utara dari Jakarta diperkirakan akan mengalami penurunan
hingga 5 meter di bawah permukaan laut pada tahun 2050 dan 7 meter pada tahun
2080. Program Pembangunan Terpadu Ibukota Pesisir Nasional (PTPIN) menyediakan
solusi terpadu untuk menghadapi tantangan ini. Perlindungan banjir, sanitasi,
dan penyediaan air yang lebih baik, konektivitas yang lebih baik dan
pengembangan masyarakat yang berkelanjutan ikut dimasukkan ke dalam
pengembangan wilayah pesisir ibukota; sebagai pra-syarat pengembangan ekonomi
berkelanjutan di ibukota negara Indonesia.
Antara tahun 2009 dan 2012, cetak biru untuk strategi itu
dikembangkan didalam proyek Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS).
Pendekatan utama dari proyek ini adalah membangun 3 baris lini pertahanan laut
dalam waktu 20 hingga 30 tahun ke depan.
Pada tahun 2013, Proyek JCDS kemudian diikuti oleh Program
Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital
Integrated Coastal Development (NCICD), mengambil solusi lepas pantai
sebagai titik mula. Nama program PTPIN mencerminkan dua pembangunan. Pertama, pengertian bahwa proyek ini
adalah kepentingan nasional yang berarti bahwa proyek ini bukan hanya milik
Jakarta tetapi juga wilayah disekitarnya sehingga tindakan penanganan di
wilayah hulu dan daerah sekitar juga diikutsertakan dalam strategi. Kedua, wawasan bahwa proyek sebesar
ini akan memiliki dampak yang cukup positif dan juga negatif terhadap wilayah
pesisir, yang menciptakan kebutuhan untuk pengembangan terpadu daripada hanya
pendekatan secara sipil teknis.
Dalam menyusun masterplan NCICD itu pemerintah pusat dan
pemerintah DKI bekerjasama dengan Belanda. Masterplan NCICD itu telah
diserahkan oleh Menteri Belanda Melanie Schultz van Haegen kepada Menteri
Pekerjaan Umum Indonesia Djoko Kirmanto. Menurut Menteri PU kala itu (2014),
total investasi utnuk NCICD diperkirakan USD 24,7 miliar atau sekitar Rp 300
triliun.
Rancangan gambar mega proyek NCICD terlihat dalam tiga
gambar berikut. Tahap I merupakan proyek pengembangan kawasan pantai utara
Jakarta seluas 5100 Ha lebih melalui pembangunan 17 pulau reklamasi yang akan
terbagi dalam tiga kawasan:
1. Pemukiman
dengan intensitas sedang, kegiatan rekreasi dan komersial terbatas (bagian
barat);
2. Pusat
perdagangan jasa skala internasional, pusat rekreasi/wisata dan pemukiman
dengan intensitas tinggi (bagian tengah);
3. Pusat
distribusi barang, pelabuhan, industri, pergudangan, serta pemukiman
dengan intensitas rendah sebagai penunjang (bagian timur).
Untuk membangun 17 pulau buatan itu, jutaan meter kubik
pasir akan dikeruk untuk menimu laut membuat 17 pulau buatan. Pulau-pulau itu
merupakan bagian dari rencana pengembangan kawasan mandiri terpadu, yang
terdiri atas pusat niaga, permukiman, dan pariwisata di Jakarta. Konstruksi
fisik pulau diperkirakan memakan waktu 1-2 tahun, sedangkan pengembangan
menjadi kawasan yang lengkap dengan permukiman, gedung, jalan, dan
infrastruktur lain selesai tahun 2030. “Secara keseluruhan, program NCICD itu
nantinya meliputi reklamasi pantai, pengembangan kota baru Jakarta, giant
sea wall, pengembangan pelabuhan, pengerukan sungai, dan pembuatan waduk,”
kata Kepala Subdirektorat Perkotaan Ditjen Tata Ruang Kementerian Pekerjaan
Umum (PU) Eko Budi Kurniawan di Jakarta, pada Juli 2014.
Dia mengatakan, pengembangan lahan di atas laut (reklamasi)
bagi Provinsi DKI Jakarta sangat penting. Selain untuk pembangunan kota baru
Jakarta yang kini sudah terbatas lahannya, reklamasi berfungsi menahan rob atau
banjir besar yang datang dari laut. Aneka infrastruktur baru juga dapat
dibangun, mulai dari pelabuhan dalam atau deep sea port, penampung
air, bahkan bandara. Sedangkan wilayah Jakarta Selatan dijadikan kawasan
konversi.
Reklamasi 17 Pulau Buatan di Teluk Jakarta
Reklamasi kawasan utara Jakarta sudah mulai dilakukan sejak
dekade 80-an. Perkembangan reklamasi pesisir utara Jakarta itu sejak awal
hingga sekarang melalui banyak liku-liku. Liku-liku reklamasi pesisir utara
Jakarta itu sebagai berikut:
-Tahun
80-an, PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter
dan membangun kompleks mewah Pantai Mutiara.
-Tahun
1981, PT Pembangunan Jaya mereklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk
kawasan industri dan rekreasi.
-Tahun
1991, hutan bakau Kapuk direklamasi dan dibuat kompleks mewah Pantai Indah
Kapuk.
-Tahun
1995, reklamasi untuk Kawasan Berikat Marunda.
-Keempat
reklamasi itu menimbulkan perdebatan. Reklamasi Pantai Pluit dituduh
mengganggu sistem PLTU Muara Karang sebab menyebabkan perubahan pola arus
laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme
arus pendinginan PLTU. Tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan
Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal
reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan dan
reklamasi terus berlanjut. Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu
itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke
arah selatan sudah tidak mungkin.
-Maret
1995, rencana reklamasi 2.700 hektar di teluk Jakarta pertama kali
dipaparkan di depan Presiden Soeharto. Selain untuk mengatasi kelangkaan
lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah
Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
-Tahun
1995, disahkan Kepres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta
dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Namun, dua aturan ini “menabrak” Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut
tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
-Tahun
1996, dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 1090 Th. 1996 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendali Reklamasi Panturan Jakarta
-Tahun
1997, dikeluarkan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Ketua Bappenas No. Kep.920/KET/10/1997 tentang Pedoman Penataan
Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta.
-Tahun
1998 keluar Surat Keputusan Gubernur DKI No. 220 Th. 1998 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta
-Tahun
1999 disahkan Perda DKI No. 6 Th. 1999 tentang Rencan Tata Ruang Wilayah
DKI Jakarta.
-Tahun
2000 dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 138 Th. 2000
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantau Utara Jakarta.
-Tahun
2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa
dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang
dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Dikeluarkan SK
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan
Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
-Tahun
2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri
Lingkungan Hidup ke PTUN. Mereka beralasan sudah melengkapi semua
persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai
izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
-KLH
mengajukan banding, tapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan
tersebut.
-Perpres
No. 54 Th. 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
-KLH
mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan
kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
-Tahun
2011, MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) menyatakan,
reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, untuk melaksanakan reklamasi,
Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui
amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) melibatkan pemda di sekitar teluk
Jakarta.
-Rencana
reklamasi yang terhadang berbagai aturan menjadi mulus saat Presiden SBY
menerbitkan Perpres No. 122 Th. 2012 mengenai reklamasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Perpres itu menyetujui pengaplingan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
-Pada
Desember 2014, dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 2238 Th. 2013
dan diberikan izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra anak
perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk.
-Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai, kebijakan tersebut melanggar karena
kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan KKP
meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta. Kementerian Koordinator
Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian
ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu
dijelaskan kepada publik agar publik tahu detail perencanaan dan bisa
mengawasi proyek reklamasi.
-Akhir
September 2015, KKP mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi.
Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar
itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
-Tapi
Pemprov DKI pada akhir Oktober 2015, malah mulai mempersiapkan tahap awal
pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan
dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.
Sampai saat ini pembuatan 17 pulau buatan dengan mereklamasi
pesisir utara Jakarta itu telah dikapling-kapling. PT Kapuk Naga Indah anak
perusahaan PT Agung Sedayu Gorup mendapat kapling pulau A, B, C, D dan E dengan
total luas 1.331 ha. PT Jakarta Propertindo mendapat kapling pulau F dan O
dengan total luas 570 ha. PT Pembangunan Jaya Ancol secara sendiri mendapat
kapling pulau J dan K dengan total 348 ha. PT Muara Wisesa Samudra anak
perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk mendapat kapling pulau G dengan luas 161
ha yang akan dikembangkan menjadi kawasan terpadu Pluit City. PT Taman Harapan
Indah anak usaha PT Inti Land mendapat kapling pulau H dengan luas 63 ha. PT
KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Marunda mendapat kapling pulau P dan Q dengan
total 832 ha. Pulau N dikapling untuk PT Pelindo II dengan luas 411 ha.
Sementara pulau L dikapling untuk PT Pembangunan Jaya Ancol bersama PT Manggala
Krida Yudha dengan luas 481 ha. Pulau M dikapling untuk PT Manggala Krida Yudha
dan PT Pelindo II dengan luas 587 ha. Total 17 pulau buatan itu nantinya lebih
dari 5.100 ha.
Daftar reklamasi 17 pulau buatan itu terlihat dalam tabel
berikut:
Perusahaan
Yang Terlibat Reklamasi di Teluk Jakarta
|
Pulau
|
Pengembang
|
Luas
(Ha)
|
Status
|
A
|
PT
Kapuk Naga Indah anak perusahaan Agung Sedayu Grup
|
79
|
Izin
Prinsip
|
B
|
PT
Kapuk Naga Indah
|
380
|
Izin
Prinsip
|
C
|
PT
Kapuk Naga Indah
|
276
|
Izin
Pelaksanaan
|
D
|
PT
Kapuk Naga Indah
|
312
|
Izin
Pelaksanaan
|
E
|
PT
Kapuk Naga Indah
|
284
|
Izin
Pelaksanaan
|
F
|
PT
Jakarta Propertindo
|
190
|
Izin
Pelaksanaan
|
G
|
PT
Muara Wisesa Samudra anak usaha Agung Podomoro Land (APL) Tbk
|
162
|
Izin
Pelaksanaan
|
H
|
PT
Taman Harapan Indah anak usaha PT Inti Land Development
|
63
|
Izin
Pelaksanaan
|
I
|
PT
Pembangunan Jaya Ancol Tbk dan PT Jaladri Eka Pasti
|
405
|
Izin
Pelaksanaan
|
J
|
PT
Pembangunan Jaya Ancol
|
316
|
Izin
Prinsip
|
K
|
PT
Pembangunan Jaya Ancol
|
32
|
Izin
Pelaksanaan
|
L
|
PT
Pembangunan Jaya Ancol dan PT Manggala Krida Yudha
|
481
|
Izin
Prinsip
|
M
|
PT
Manggala Krida Yudha dan PT Pelindo II
|
587
|
Izin
Prinsip
|
N
|
PT
Pelindo II
|
411
|
Izin
Prinsip
|
O
|
PT
Jakarta Propertindo
|
344
|
Izin
Prinsip
|
P
|
PT
KEK Marunda Jakarta
|
463
|
Izin
Prinsip
|
Q
|
PT
KEK Marunda Jakarta
|
369
|
Izin
Prinsip
|
|
Total
|
5.154
|
|
Pro dan Kontra
Reklamasi pesisir utara Jakarta sejak pertama mucul sudah
menimpulkan polemik. Ada pihak-pihak yang pro, terutama dari kalangan
pengusaha. Ada banyak pihak yang kontra.
Mereka
yang pro mendukung reklamasi diantara beralasan bahwa reklamasi itu:
- Perlu
untu menyelesaikan kelangkaan ruang dan lahan di Jakarta. Kawasan selatan
Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah
konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat
penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke
timur dan barat.
-Mendatangkan
benefit ekonomi bagi Jakarta. Paling tidak akan menghasilkan pajak dan
retribusi. Nanti diantaranya digunakan untuk subsidi silang memperbaiki
kawasan kumuh.
-Reklamasi
berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai
bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber
air bersih Jakarta Utara.
-Reklamasi
akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi.
Sementara
itu, pendapat yang kontra reklamasi juga didukung oleh banyak argumentasi.
Diantara argumentasi itu adalah:
-Reklamasi
akan berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan
ekosistem pesisir terancam punah.
-Kehancuran
terjadi akibat hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke,
punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman
hayati lain.
-Reklamasi
akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam
(geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara.
Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen
sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak
kawasan tata air.
-Reklamasi
juga berdampak pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta
Utara. Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan
tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah
miskin menjadi semakin miskin.
-Pada
2003, KLH menolak reklamasi Teluk Jakarta dengan pertimbangan: reklamasi
mengancam keragaman hayati, asal tanah reklamasi tak jelas (kala itu,
pemerintah Jakarta tak bisa menjelaskan asal tanah dari mana). Lalu, ada
PLTU, bagaimana desain penanganan masalah air (tak ada jawaban darimana
asal air tawar), dan reklamasi bisa perluas banjir Jakarta. Kala itu,
rencana reklamasi sepanjang 30 km x 1 km.
Reklamasi diyakini akan mendatangkan banyak masalah, dan
tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi kota seperti Jakarta. Para
akademisi meyakini jika rumah-rumah atau bangunan lainnya yang dibangun di
pinggir laut akan memiliki risiko besar pada 30 tahun mendatang. “Peningkatan
level air laut secara signifikan berdampak pada pemilik properti di sepanjang
pinggir laut,” kata Redaktur The Fifth Estate, Tina Perinotto, saat memberikan
kuliah tentang kerentanan pantai pada kenaikan permukaan laut di Universitas
Sydney, Australia.
Para peneliti di Dewan Iklim Dunia menyatakan kenaikan level
air laut pada 2030 adalah sebesar 0,2 meter. Angka ini terus meningkat menjadi
0,5 meter, 0,8 meter, dan 1,1 meter pada abad 22 atau tahun 2100 serta tidak
menutup kemungkinan kenaikan yang terjadi mencapai 1,5 meter.
Menurut pengamat perkotaan sekaligus pendiri Ruang Jakarta,
Marco Kusumawijaya, pilihan reklamasi untuk mengatasi kelangkaan lahan dinilai
sebagai representasi kemalasan pemerintah memperbaiki kota yang
ada. Reklamasi juga dipandang sebagai kesalahan berpikir tentang perlunya
ekspansi horisontal tata ruang wilayah.
Menurutnya, bukan reklamasi yang ditempuh untuk memperbaiki
dan memperluas ruang hidup bagi Jakarta, Bali, dan Makassar.
Yang diperlukan sebaliknya yakni meningkatkan kepadatan dan kualitas
kawasan kota yang ada dengan infrastruktur yang lebih mencukupi dan baik.
Harusnya berpikir jangka panjang demi ekologis, dan untuk itu justru harus intensifkan
lahan (kawasan) kota yang ada, bukan ekspansi horisontal.
Pada prinsipnya, yang diperlukan adalah ruang, bukan tanah.
Yakni ruang yang dilayani infrastruktur yang baik. Yang diperlukan adalah
kota yang efisien, produktif dan berkualitas. Tapi hal itu tidak boleh
diartikulasikan sebagai ekspansi horisontal. Mestinya hal itu bisa dilakukan
dengan intensifikasi ruang.
Reklamasi juga cenderung menjual lahan dengan marjin
keuntungan yang besar sekali, sehingga akan mendongkrak spekulasi harga lahan
di dalam kota menjadi makin tidak terjangkau oleh kelas menengah yang sedang
tumbuh.
Karena potensi kerusakan akibat reklamasi begitu besar, baik
kerusakan alam, kemaritiman, dan sosial maka reklamasi untuk keperluan
infrastruktur seperti pelabuhan laut dan bandara pun perlu dirasionalisasi agar
sekecil mungkin, bukan sebesar mungkin. Jadi yang harus besar adalah kapasitas,
bukan luas. Banyak pelabuhan dan bandara di dunia yang kompak tapi kapasitasnya
tinggi, bukan karena luas, tapi karena tata ruang, manajemen dan teknologi yang
baik.
Tanggapan
Positif :
Menurut
saya reklamasi di Jakarta itu penting mengingat semakin padatnya peduduk di
Jakarta yang mau tidak mau mengharuskan pemerintahannya berpikir bagaimana agar
mengurangi kepadatan penduduk di Jakarta yaitu dengan cara yang salah satunya
merencanakan proyek reklamasi.
Tanggapan
Negatif :
Menurut
saya jika proyek reklamasi berjalan maka akan berpotensi memunculkan berbagai
macam masalah lingkungan seperti akan punahnya ekosistem di pesisir seperti hilangnya
berbagai jenis pohon, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai
keanekaragaman hayati lain di sekitar pesisir pantai.
Proyek
reklamasi juga akan mengakibatkan meningkatnya permukaan laut yang diakibatkan
oleh pasir pasir untuk membangun pulau-pulau yang akan meningkatkan potensi
banjir di Jakarta. Hal itu dikarenakan proyek tersebut dapat mengubah bentang
alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi tersebut.
Proyek
reklamasi juga berdampak pada kondisi ekonomi warga sekitar pesisir pantai yang
mayoritasnya bekerja sebagai nelayan yang diakibatkan hilangnya ikan, kepiting yang
diakibatkan adanya proyek reklamasi tersebut.